Desain By M. Rizki Riswandi |
Dan senyuman kecil tercetak di bibirku. Senyuman nrimo yang tak kusadari sebelumnya.
“Tepati janjimu!” Tagih gadis itu.
“Janji?” Tanyaku.
Gadis itu menghela napas kesal. “Apa menyerupai itu seorang kekasih?” Balasnya dengan ekspresi kecewa. Tapi ekspresi itu sama sekali tidak membuatku takut atau menyesal. Justru membuat bibirku semakin tertarik ke atas.
“Kekasih?” Tanyaku lagi
Tiba-tiba sebuah pukulan pelan mendarat di lenganku. “Berhentilah bermain-main!” Ucapnya kesal
“Main-main?”
“Aku sanggup gila!” Jawab gadis itu sambil berjalan mendahuluiku.
Aku hanya sanggup tersenyum kecil melihat kelakuannya. Mengapa gadis itu sangat menggemaskan? Mengapa gadis itu terlihat sangat lucu dengan banyak sekali ekspresi yang menghiasi wajahnya? Pelet apa yang dipakai olehnya? Damn, saya benar-benar kecanduan!
“Baiklah, apa yang kamu inginkan?” Tanyaku ketika berhasil menyamai langkahnya. Gadis itu tidak menggubrisku, ia terus berjalan. “Hei, apa yang kamu inginkan?” Ulangku sambil berusaha berada di sampingnya. Tapi di luar dugaan ia justru mempercepat langkahnya dan berjalan beberapa meter di depanku.
“Ice cream tampaknya sangat lezat” Godaku sambil berusaha menyusul. Namun tidak ada perubahan reaksi yang ditunjukan. “Hei, tunggu!” Cegahku sambil mengenggam pergelangan tangannya.
“Kau harus mentraktirku ice cream hingga kedai itu tutup!” Kata-kata yang terlontar dari mulutnya.
“Selama itu?” Tanyaku ragu
“Ya!” Jawabnya mantap dengan mata berbinar
Mata itu sangat indah. Manik hitamnya menyerupai menari-nari memancarkan sesuatu yang tak sanggup kudeskripsikan. Kutatap semakin dalam, menyerupai ingin menelusuri hal apa yang membuat mata itu terlihat sangat indah. Aku sendiri tak mengerti, mengapa sosok di hadapanku ini terlihat sangat mengagumkan di mataku? Apa yang membuat semua tingkahnya sanggup terekam dengan manis di otakku? Apa yang bergotong-royong terjadi? Dia membuatku seperti saya orang terbodoh di dunia ini.
“Kenapa?” Tanyanya resah melihat ekspresiku yang mungkin sulit terbaca olehnya. “Apa kamu keberatan?”
“Bodoh, bagaimana mungkin saya keberatan” Jawabku
“Benarkah?”
Tanpa mengucapkan satu katapun, kudekap gadis itu dalam pelukan. Kubenamkan wajahku ke rambut hitamnya. Tangan mungil itu membalas pelukanku. Aku mencicipi sesuatu yang berbeda, sesuatu yang gres kurasakan belakangan ini. Detak jantung yang tak terkontrol, entah itu milikku atau miliknya.
“Good Job!!!” Teriak seseorang sambil bertepuk tangan.
Dan dalam hitungan detik gadis itu menguraikan pelukannya. Beberapa orang mendekati kami. Salah seorang dari mereka mengulurkan sebuah botol mineral kepadaku. Kemudian seorang lainnya merapikan rambutku yang sedikit acak-acakan alasannya yaitu sapuan angin.
“Bagus! Chemistry kalian sempurna” Komentar yang tiba-tiba terlontar
“Ayo, lanjut ke scene berikutnya!” Teriak sutradara yang duduk di belakang monitor tak jauh dari tempatku berdiri.
Aku menghela napas perlahan. Ya, saatnya kembali ke dunia sesungguhnya.
—
“Hari ini cukup. Ingat, besok kalian semua harus tiba di lokasi tepat waktu!” Ucap sutradara sambil mengemasi barang bawaannya.
“Siap Pak!” Jawab serempak beberapa kru.
“Dimana Alena?” Tanya salah seorang kameramen.
“Mungkin pulang, ia terlihat sangat lelah hari ini” Jawab salah satu kru.
“Hari ini memang melelahkan” Tambahku. Ya, walaupun lelah tapi semakin ke sini saya semakin menikmatinya.
“Siap Pak!” Jawab serempak beberapa kru.
“Dimana Alena?” Tanya salah seorang kameramen.
“Mungkin pulang, ia terlihat sangat lelah hari ini” Jawab salah satu kru.
“Hari ini memang melelahkan” Tambahku. Ya, walaupun lelah tapi semakin ke sini saya semakin menikmatinya.
Penggarapan film ini hampir sama dengan beberapa film yang sudah kubintangi sebelumnya. Setelah menandatangani kontrak, kami mulai syuting di banyak sekali lokasi. Film ini bergenre romantic comedy yang menurutku cukup menarik dan mengocak perut. Menjadi pemeran utama dalam sebuah film romantis bukan hal yang abnormal bagiku. Tentunya dengan banyak sekali lawan main, membuatku semakin profesional dalam memerankan sebuah karakter.
Dalam film ini saya diberi kesempatan beradu akting dengan Alena Soraya Putri. Sebelumnya kami pernah bertemu dalam banyak sekali program tapi kami hanya saling tahu, tidak saling mengenal. Awalnya saya merasa canggung untuk berakting mesra dengannya sehingga kami harus mengulangi beberapa kali semoga mendapat hasil yang maksimal. Tapi tentu saja bukan Rion namanya jikalau tidak sanggup menghilangkan rasa canggung tersebut. Rasa canggung bukan duduk kasus besar untukku. Terbukti hanya dalam beberapa hari saja saya sudah mulai profesional dan tampaknya gadis itu juga melaksanakan hal yang sama.
Beberapa bulan berakting sebagai sepasang kekasih, saya mencicipi ada sesuatu yang berbeda. Tapi kutekan dalam-dalam rasa itu alasannya yaitu saya sendiri juga tak mengerti apa yang kurasakan. Hubungan kami semakin dekat, tidak hanya di dalam film. Alena memang gadis yang menyenangkan. Tentu bukan saya saja yang beranggapan menyerupai itu, semua pemain dan kru juga mengakui keceriaan gadis itu.
Namun sayang, film ini hampir rampung dan diperkirakan sekitar 3 hari lagi.
Namun sayang, film ini hampir rampung dan diperkirakan sekitar 3 hari lagi.
Time goes so fast. Aku sudah terbiasa dengan kehadirannya, tawanya dan tatapan matanya yang masih membingungkanku hingga ketika ini. Chemistry yang seharusnya saya ciptakan ketika berakting justru berkelanjutan hingga ke dunia sesungguhnya. Kekaguman seorang David –tokoh yang kuperankan- kepada Hanna –tokoh yang diperankan Alena- juga mengantarkan kekaguman seorang Rion kepada Alena.
Jujur, hingga ketika ini saya sama sekali tidak mengerti dengan apa yang kurasakan. Apa hanya kagum atau lebih dari itu? Aku sangat menikmati adegan-adegan bersamanya dan jauh di dalam diriku berharap semoga adegan itu benar-benar nyata. Apa saya gila? Namun saya sendiri juga bingung, mengapa saya sanggup tertarik dengan gadis itu? Karena ia cantik? Tentu bukan alasan klise semacam itu yang membuatku tertarik. Karena sebagai seorang entertain duniaku dikelilingi oleh banyak perempuan dengan kecantikan yang tepat jadi saya sangat yakin kecantikan bukan salah satu alasannya.
Namun rasa ini benar-benar menyerupai tak sanggup kukendalikan. Sekarang saya sadar akting bukan hal yang mudah, apalagi berakting untuk bersikap biasa saja di depan gadis itu. Apa saya harus mengungkapkannya? Tapi di lain sisi ada rasa takut yang menyelimutiku. Rasa takut tidak sanggup bertindak menyerupai sahabat pada umumnya alasannya yaitu canggung akan merampas kenyamanan di antara kami. Canggung di sini tentu saja bukan rasa canggung menyerupai di awal tapi canggung yang benar-benar membunuh. I really hate that feeling!
—
“Aku mencintaimu”
“Aku juga mencintaimu”
Hening. Tatapan matanya memancarkan keseriusan. Aku karam dalam keterpakuanku sendiri. Jantungku berdetak sangat cepat. Gadis ini. Seandainya gadis di hadapanku ini benar-benar Lena.
“Cut!!!”
Teriakan itu membuyarkan semuanya.
“Apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu hanya diam?” Tanya sutradara
“Maaf” Jawabku sambil meraih kertas skenario. Aku bersikap seperti lupa dengan obrolan yang akan ku ucapkan. Mataku menatap kertas penuh goresan pena itu dengan pikiran menerawang. Apa yang gres saja kulakukan? Fokus Rion!
“1..2… Let’s go!”
“Aku mencintaimu”
“Aku juga mencintaimu”
“Will you marry me?”
“Yes, I wiil” Gadis itu menjawab sembari loncat memelukku. Kubalas pelukan itu lebih dalam.
“Aku juga mencintaimu”
Hening. Tatapan matanya memancarkan keseriusan. Aku karam dalam keterpakuanku sendiri. Jantungku berdetak sangat cepat. Gadis ini. Seandainya gadis di hadapanku ini benar-benar Lena.
“Cut!!!”
Teriakan itu membuyarkan semuanya.
“Apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu hanya diam?” Tanya sutradara
“Maaf” Jawabku sambil meraih kertas skenario. Aku bersikap seperti lupa dengan obrolan yang akan ku ucapkan. Mataku menatap kertas penuh goresan pena itu dengan pikiran menerawang. Apa yang gres saja kulakukan? Fokus Rion!
“1..2… Let’s go!”
“Aku mencintaimu”
“Aku juga mencintaimu”
“Will you marry me?”
“Yes, I wiil” Gadis itu menjawab sembari loncat memelukku. Kubalas pelukan itu lebih dalam.
—
Benar kata orang, menghapus sebuah perasaan tidak semudah membalik telapak tangan. Bahkan saya lebih menentukan dihajar oleh sekelompok preman daripada harus mencicipi perasaan abstrak ini. Perasaan abstrak yang sangat menghambat dan mungkin secara perlahan akan membunuhku. Oh tidak, apa yang gres saja ku katakan? Ini semua sangat tidak masuk akal.
Subscribe Channel YouTube !
Sudah sekitar 6 bulan saya tidak bertemu dengan Lena. Setelah penggarapan film dan sesi promosi telah usai, saya tidak pernah bertemu dengannya lagi. Mungkin faktor kesibukan yang sangat lekat dengan kami berdua. Namun tidak peduli betapa sibuknya diriku, bayang-bayangnya masih terlihat terang di mataku. Ada rasa menyesal alasannya yaitu tak pernah punya keberanian untuk mengungkapkan hal yang bergotong-royong kurasakan.
‘Bangun Rion! Kau bukan cukup umur labil yang harus pusing hanya alasannya yaitu seorang gadis!’ Batinku kesal
Mobil yang kutumpangi berhenti tepat di depan sebuah gedung. Setelah membereskan beberapa barang yang harus kubawa, saya pun turun dari mobil. Aku melirik sekilas ke arah Pram –manager sekaligus sahabatku-, saya masih sedikit kesal dengannya. Kalau bukan alasannya yaitu ia yang tiba-tiba menyetujui jadwal talkshow ini niscaya kini saya sedang bersantai menikmati detik jam yang berjalan.
“Sudahlah jangan memandangku menyerupai itu, apa boleh buat? Kita sudah menyetujui untuk mengisi talkshow ini” Ucap Pram
“Kita? Kau yang menyetujuinya. Lebih baik kamu saja yang menjadi bintang tamu” Jawabku
“Yakin? Kau akan menyesal nantinya”
“Aku sudah menyesal ketika ini”
Lelaki itu tertawa. “Sudahlah, ayo masuk! Lagian talkshow ini mempunyai rating cukup tinggi jadi sayang untuk dilewatkan”
Aku memasuki gedung itu tanpa menghiraukan ucapan Pram. Tapi lelaki itu bersikap menyerupai tidak melaksanakan kesalahan apapun, dengan santai ia berjalan disampingku.
“Masuklah, kamu yaitu bintang tamu pertama” ucap Pram sambil mendorongku pelan
Benar, gres beberapa langkah saja tiba-tiba namaku dipanggil oleh host. “Ini bintang tamu Istimewa kita, Rion Dewanggara!”
Dengan senyum sumringah saya berjalan mendekati host tersebut. Setelah bersalaman, saya pun mengambil duduk di sofa yang telah disediakan.
“Bagaimana kabarmu?” Tanya host membuka percakapan.
“Seperti yang sanggup dilihat, baik”
“Aku dengar kamu sedang sibuk membintangi sebuah video clip?”
“Ya itu benar”
“Oh ya, kalau mendengar namamu niscaya mengingatkanku pada film yang beberapa bulan kemudian mendapat respons luar biasa dari masyarakat khususnya remaja. Bagaimana pendapatmu?”
Deg. Aku sanggup menebak kemana arah pertanyaan host ini.
“Awalnya saya berpikir film itu cukup unik alasannya yaitu tidak menyerupai film romantis pada umumnya, di film tersebut di bumbui unsur comedy sehingga tidak terkesan monoton”
“Ya kamu benar, ketika menontonnya benar-benar membuatku terus tertawa tapi ada juga adegan yang membuatku tersentuh, benar-benar dalam dosis yang pas. Skillmu dalam berakting sangat patut diacungi jempol”
Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
“Bagaimana perasaanmu ketika beradu akting dengan Alena?” Tanyanya tanpa rasa berdosa sedikitpun.
Aku menghela napas perlahan.
“Alena orang yang menyenangkan sehingga kami sanggup dengan gampang membuat chemistry dan ada rasa besar hati tersendiri alasannya yaitu sanggup beradu akting dengannya” Jawabku. Betapa pintarnya saya menyembunyikan semuanya? Tak salah host itu memujiku, bukan?
“Ok, tapi tidak lengkap jikalau kita tidak mengundang lawan mainmu itu, Alena Soraya Putri!” Ucap host ini dengan nada menyerupai memanggil
Dan benar saja, tiba-tiba seorang gadis berjalan mendekati kami. Napasku tercekat. Gadis itu tidak berubah. Ingin rasanya saya berlari mendekat dan memeluknya erat. Dia tersenyum dan mengambil duduk tepat di sebelahku. Bagaimana sanggup ia tersenyum dengan mudahnya sedangkan saya di sini menyerupai hampir mati menahan rindu?
“Hai Alena, bagaimana kabarmu? Dan apa kesibukanmu belakangan ini?”
“Baik, kini saya sedang sibuk menyiapkan skripsi” Jawab gadis itu dengan tidak mengurangi sedikitpun senyuman di bibirnya.
Oh God, bisakah Kau menyuruhnya berhenti tersenyum? Senyuman itu sangat menyita perhatianku. Mataku tidak mau berpaling untuk tidak memandangnya.
“Skripsi? Pasti itu cukup berat mengingat kesibukanmu yang sangat padat” Komentar host “Oh ya, film kalian mendapat perhatian baik dari masyarakat, bagaimana perasaanmu ketika beradu akting dengan Rion?”
“Menyenangkan, daya tangkapnya sangat cepat sehingga ia sering mengajariku ketika saya dalam kesulitan”
Aku tersenyum mendengar ucapannya.
“Bagaimana korelasi kalian sekarang?”
Sh*t! Bagaimana sanggup ada host menyerupai ini?
“Hubungan kami biasa saja walaupun kami jarang bertemu belakangan ini tapi tentu saja hal itu tidak merusak korelasi pertemanan kami” Jawab Alena.
“Kalau begitu apakah kalian mempunyai kesan mendalam dari syuting film tersebut? Karena banyak sekali adegan mesra yang kalian lakukan?”
“Kesan mendalam?” Tanya Alena resah sambil memandangku.
Aku menghela napas sejenak. “Ya, saya mempunyai kesan mendalam dari beberapa adegan tersebut”
Sontak semua terkejut termasuk gadis di sampingku itu.
“Wah, kesan menyerupai apa?” Host itu terlihat sangat excited.
Aku terdiam. Apa yang gres saja kukatakan? Tapi dalam diriku menyerupai ada dorongan besar untuk mengungkapkan semuanya. Ada apa denganku? Tapi logikaku tampaknya sudah tidak berfungsi. Kulirik sekilas Pram yang duduk di dingklik penonton. Lelaki itu tersenyum dan mengangguk pelan menyerupai sanggup membaca pikiranku. Respon Pram membuat kepercayaan diriku semakin bertambah.
“Kesan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, kesan yang masih terasa hingga ketika ini” Jawabku tanpa berpikir panjang. Aku tidak peduli info apa yang akan tersebar, saya tidak peduli segerombolan wartawan yang akan mengerubungiku nantinya. Aku tidak peduli semua itu.
“Apa maksudmu?” Alena mengerutkan keningnya.
“Wajahmu, senyummu dan tatapan matamu menyerupai narkoba bagiku”
“Akting apa yang sedang kamu lakukan hah?” Tanya gadis itu kesal
“Apa saya terlihat menyerupai berakting?”
“Rion, sanggup kamu jelaskan maksud ucapanmu barusan?” Tanya host berusaha menengahi.
“Jujur, saya mencicipi sesuatu yang berbeda ketika beradu akting dengan Alena. Aku sangat menikmati setiap detail adegan yang kami lakukan bahkan bukan hanya sekedar sebagai lawan main” Kuhembuskan napas perlahan “Aku ingin lebih bersahabat denganmu, lebih dari seorang teman” Tambahku sambil beralih menatapnya.
“Apa kamu gila? Talkshow ini live dan ditonton banyak orang” Balas Alena menyerupai berharap saya sadar dan meratapi ucapanku.
“Mungkin saya memang gila, saya berpikir ini yaitu ketika yang tepat. Aku takut tidak sanggup bertemu denganmu lagi alasannya yaitu kesibukan akan membuat jarak di antara kita semakin jauh”
“Rion” Panggilnya pelan
Sepertinya host program talkshow ini kehabisan kata-kata melihatku. Tapi tentu saja tak kuhiraukan. Hanya gadis ini yang kuhiraukan. Gadis yang telah merampas kebijaksanaan sehatku..
“Apa kamu mau memberiku kesempatan?” Tanyaku dengan hati-hati
“Aku akan menjawab sesudah program ini selesai”
“Aku tidak sanggup menunggu, Lena”
Gadis itu terdiam.
“Lena?”
“Tidak ada salahnya memberimu kesempatan” Jawabnya
“Kau serius?”
“Ya”
Refleks saya memeluknya. Entah cupid mana yang telah merasukiku. Satu nama tiba-tiba terlintas di otakku. Pram. Manager gila itu yang merencanakan semua ini. Aku sangat berutang budi padanya.
Tepuk tangan terdengar. “Wah taklshow-ku ini sangat berperan penting bagi kalian” Ucap host sambil bangkit dari duduknya
“Kau menjawab menyerupai itu bukan alasannya yaitu program ini live kan?” Tanyaku memastikan
“Tentu saja…” Jawabnya
“Maksudmu? “
“Tentu saja tidak. Aku juga mencicipi apa yang kamu rasakan” Ucapnya dengan tersenyum.
Cerpen Karangan : Ifarifah
Blog Pengarang : www.ifarifah.blogspot.com
Subscribe Channel YouTube !
0 Response to "I Have No Reason - Ifarifah | Cerpen"