Latest News

Hutan Penuh Misteri (Part 2) | Dongeng Horror - Dongeng Hantu




“Mereka sebuah pohon!!”
Aries menggaruk kepalanya, wajahnya dipenuhi kebingungan.

“Tapi bagaimana sanggup mereka memiliki tangan dan kaki? Bahkan mata dan lisan layaknya manusia” Untuk sesaat kami sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Apa kamu tahu tadi itu Pohon apa?” Ku gelengkan kepala “tidak tahu”
“Sudahlah itu tak penting. Sekarang apa yang harus kita lakukan? Mereka akan membawa Gemini ke mana?”
“Ku rasa mereka akan membawanya ke pohon yang paling besar itu” tunjuk Aries ke pohon besar yang berada di taman tengah-tengah kota.
“Menurutku itu sebuah istana. Dan mungkin saja Leo juga berada di sana” lanjutnya.
“Tapi apakah di sana ada manusia? Bagaimana bila mereka memburu manusia?” ucapku ragu-ragu.
“Tentu saja tidak, dasar bodoh!” terdengar kekeh dari atas pohon yang berdiri di dekatku dan Aries, saya mendongak ke atas.
Seorang cowok melompat turun sedikit melayang, dan mendarat perlahan di samping Aries.

“Mereka tidak akan memakan kalian. Mereka itu tumbuhan, bukan bintang buas” ucapnya.
“Siapa kau?” tanyaku tanpa mempedulikan ucapannya.
“Namaku Rovert” ia mambungkuk memperkenalkan dirinya.

“Aku Aries, dan Ini Virgo” Aries meperkenalkan dirinya dan diriku.
Ia tersenyum “selamat tiba di negeri hijau”

“Negeri hijau?” tanyaku.
Rovert memandangku dengan heran, “rupanya kalian gres pertama kali tiba ke sini ya?”

Kami berdua mengangguk. “Pantas saja kalian merasa heran. Lantas apa tujuan kalian tiba ke mari?”

Aries menceritakan semuanya dari mulai Leo yang menghilang hingga Gemini yang ditangkap oleh pohon-pohon hidup itu.

Rovert mendengarkan dongeng kami dengan seksama. “Mmmm… Pantas saja bila mereka murka padanya. Aku yakin mereka ditangkap dan ditahan di penjara bawah tanah istana. Tapi sobat kalian yang satu lagi, apa yang telah dilakukannya sehingga ia ikut ditahan?” gumamnya.

“Entah, kami pun tak tahu. Dan kami resah apa yang harus kami lakukan” ucapku lirih.
“Aku akan membantu kalian. Bagaimana bila kalian ikut denganku ke rumah?”

Sebelumnya saya dan Aries sempat bingung. Kami takut bila Rovert orang jahat. Tapi dilihat dari tampangnya, tampaknya ia orang baik. Pikirku. Kemudian kami pun mengiyakan ajakannya.

Sesampainya di rumah Rovert. Rumah yang cukup kecil dengan teras di depannya. Itu sebuah pondok. Tidak ada siapa pun di dalam pondok. Ternyata Rovert hidup sebatang kara. Kasihan anak seusianya harus hidup sendirian di pondok kecil ini.

Matahari sudah rendah letaknya di langit sebelah barat. Karenanya Rovert menyalakan api di perapian dengan memakai korek untuk menghangatkam tubuh dari dinginnya malam. Aku duduk erat jendela, memandang ke luar. Di langit nampak samar kelebatan sayap kelelawar mencari mangsa.

Sedangkan Aries tampak berbincang-bincang dengan Rovert mengenai negeri ini. Menurut pengetahuan Rovert, negeri hijau berusia tiga ratusan tahun, atau bahkan lebih. Rovert yang awalnya hanya sebagai orang yang merantau sana-sini. Karena ia hanya hidup sebatang kara. Pada alhasil menemukan negeri ini.

Awalnya Rovert merasa takut dan resah menyerupai kami. Tapi sehabis mengetahui detailnya perihal negeri hijau menciptakan Rovert betah tinggal di sini. Negeri ini kondusif dan tenteram tanpa ada gangguan dari para insan yang jahat dan serakah.

Meskipun sebagian besar penghuninya tumbuhan. Ada sebagian insan menyerupai dirinya yang tinggal disini. Tentu saja insan yang cinta pada tumbuhan. Negeri ini juga dipimpin oleh seorang Ratu. Rovert terus bercerita. Dan Aries mendengarkannya.

“Cukup sudah” saya berdiri dan menghampiri Aries. “Kita tidak sanggup membisu terus menyerupai ini. Kita harus segera membebaskan Leo dan Gemini”
“Aku tahu. Tapi kita masih belum tahu apa yang harus kita lakukan”
Aries benar. Aku terduduk lunglai. Air mataku mulai mengalir. Aku takut terjadi sesuatu pada dua sahabatku itu.

Aries merangkulku “sudah, Vi. Kau tak perlu takut. Aku akan mencari inspirasi supaya sanggup membawa Leo, Gemini pulang”
“Aku akan ikut membantu” Rovert ikut menenangkanku.
Seberusaha apa pun mereka mencoba. Tetap saja hatiku merasa kacau. Malam semakin larut, bunyi jangkrik di mana-mana saling bersahutan.

Aku tak sanggup tidur. Aku ingin pulang. Bagaimana bila ayah dan ibu khawatir mencariku. Tapi saya tak mungkin kembali tanpa kedua sahabatku. Pada alhasil saya tak kuasa menahan kantuk dan perlahan mataku terpejam.

Esok pagi Rovert mengajak kami untuk bertemu eksklusif dengan sang Ratu. Untuk meminta maaf dan membebaskan Leo dan Gemini. Kami berjalan memasuki kota. Di sana banyak rumah-rumah pohon. Ku lihat salah satu rumah yang menarik perhatianku. Di sekitarnya ada seorang kakek sedang mencangkul tanah dibantu oleh sebuah pohon. Mereka tampak akur.

“Kau niscaya heran kenapa mereka hidup rukun.” Rovert mulai berbicara sepanjang jalan perihal penduduk yang tinggal di negeri hijau.

Memang tidak semua flora sanggup berjalan dan melihat. Ada sebagian yang hidup layaknya flora menyerupai biasanya. Aku terkagum-kagum melihat semua pohon-pohon yang sudah langka dan hampir punah ada semuanya di sini. Seperti pohon jelutung, tembesu, mimba, enau, cycas affinity rumphii, encepalartos, pachypodium, nepenthes spp. Dan masih banyak lagi.

Beberapa menit kemudian sampailah kami di sebuah taman yang berada di tengah kota. Mataku terbelalak menatap sebuah bangunan. Ralat, maksudku sebuah pohon yang sangat besar dengan banyak pintu dan jendela. Di depannya terhampar taman yang ditumbuhi bunga-bunga biru berbentuk aneh.

Aku semakin tak percaya ketika melihat makhluk-makhluk kecil bersirip tengah bernyanyi di bak lembap mancur yang dibangun di tengah taman. Suara mereka sungguh merdu, tak sanggup dibandingkan dengan semua nyanyian yang pernah ku dengar. “Mereka ialah peri taman kerajaan.” Spontan saya berpaling ke arah Rovert. Saat hingga di depan istana pohon, kami di hadang oleh penjaga kerajaan.

“Ada perlu apa kalian ke mari?” ucap seorang prajurit pohon.
“Kami hendak bertemu dengan Ratu”
“Baiklah. Tapi sebelumnya biarkan kami menyidik kalian dahulu”
“Silahkan” jawab Rovert enteng.
Para penjaga itu mulai menyidik kami. Karena tidak ada yang mencurigakan, kami dipersilahkan masuk.
“Ayo kita masuk!” ucapnya lagi.

Di dalam kerajaan sangat rapi. Perabotan berukuran raksasa tertata rapi di tembok istana. Ku lihat sebuah pohon cendana sedang duduk di bangku berukuran besar. Di atas kepalanya terdapat sebuah mahkota yang memberitahukan bahwa ia seorang ratu. Di sisi kiri kanan ada sebuah pohon lain yang tampaknya itu seorang pelayan atau apalah yang biasa ada di kerajaan. Rovert segera membungkuk sebagai salam penghormatan. Aku dan Aries mengikutinya di belakang.

“Ada apa kalian tiba ke mari?” tanya Ratu pohon.
“Kami tiba ke mari ingin meminta maaf kepada Ratu atas perbuatan yang telah dilakukan dua sobat kami. Kami juga meminta semoga Ratu mau membebaskan sobat kami”

Ratu pohon itu berdiri. “Tapi teman-teman kalian sudah membunuh dan merusak anak-anakku. Mereka harus dieksekusi mati”
Kami terperanjat. Air mataku mulai mengalir. Aries memegang tanganku semoga saya harus tenang.

“Kami mohon, Ratu. Tolong bebaskan teman-teman kami. Kami akan melaksanakan apa pun asal mereka dibebaskan” kini Aries yang berbicara. Ratu pohon itu melamun untuk beberapa saat. Kemudian, “baiklah saya akan membebaskan sobat kalian tapi dengan satu syarat”
Kami saling pandang. “Apa syaratnya, Ratu?” tanyaku.


“Kalian harus membawakanku bunga Lupinus Perennis sebelum matahari terbenam. Jika kalian gagal maka teman-teman kalian akan dieksekusi mati”
Sesaat saya dan Aries ragu. Tapi dengan gagahnya Rovert menyanggupi persyaratannya. Aku sempat tertegun.

“Di mana kami harus mencarinya?”
“Di hutan terlarang” ucap sang Ratu, singkat. Setelah itu kami pamit untuk pergi.
“Kau gila. Bagaiman sanggup kita mendapat bunga itu dalam waktu yang sesingkat ini” ucap Aries sehabis berada di luar istana.
“Aku bingung. Bagaimana mungkin di dalam hutan, ada hutan lagi” ucapku pelan.
“Kalian tak perlu khawatir. Ada saya kan”
“Yeah, ada kau” Aries tersenyum kecut.
“Sekarang apa yang harus kita lakukan?” tanyanya.
“Tentu saja mencari bunga Lupinus Perennis” sambil berlalu pergi.
Aku dan Aries cepat-cepat mengejar Rovert. Ia berjalan begitu cepat. Kami pergi meninggalkan kota. Dan sudah berjalan beberapa kilometer. Aku merasa lelah. Tubuhku lemas, mungkin alasannya ialah saya lapar.
“Kita istirahat sebentar. Aku lapar, apa di sekitar sini ada pohon buah?”
Rovert membisu berpikir. “Mungkin saya tahu. Kalian tunggulah sebentar” ia berlalu dengan begitu cepat.

Kini hanya ada kami berdua, saya dan Aries. “Aries, apa kamu yakin kita sanggup menyelamatkan Leo dan Gemini?” saya menunduk lesu. Aries menghampiri dan berjongkok di depanku. Mata kami bertatapan begitu dekat. Lalu ia menggenggam kedua tanganku.

“Kita niscaya bisa. Kau tak perlu takut. Aku akan selalu menjagamu, Virgo. Yakin dan percayalah bahwa kita niscaya bisa” Ia tersenyum padaku. Senyum yang sangat indah dan sanggup meluluhkan hati siapa saja yang memandangnya. Senyum Aries membuatku sedikit damai dan tidak lagi merasa takut. Ketika itu juga tiba Rovert yang sudah membawa buah-buahan. “Oopss… Maaf saya tak bermaksud mengganggu kalian” ucapnya polos.

Aries segera melepaskan tangannya dari tanganku. Ku lihat wajah Aries yang memerah alasannya ialah malu. Begitu pun diriku. Kami merasa canggung. Tapi tetap berusaha untuk terlihat normal.

Kami mulai memakan buah-buahan yang dibawa Rovert. Rasanya sungguh nikmat. Kami mendengus dengan perut terisi. Saatnya melanjutkan perjalanan. Selama di perjalanan saya berharap kami tidak menemukan kesulitan dalam mencari bunga Lupinus Perennis.
Awalnya tak sulit bagi kami untuk menuju kawasan di mana bunga Lupinus Perennis berada.

Yang menbuat kami kesulitan: bunga itu dijaga oleh dua pohon yang tingginya hampir 25 m, kulit rata, warna abu-abu kehitaman, dan tekstur yang kasar. Mata hitam melotot. Benar-benar menyeramkan.

“Kita harus bagaimana?” tanyaku pelan.
Sesaat kami terdiam, lalu…
“Aku punya ide!” kata Rovert.

Matanya mencari-cari sesuatu di sekeliling kami. Dan mengambil sebuah batu. Lalu melemparkannya.

“Siapa itu?” tanya si pohon penjaga. Suaranya melengking di udara. Mereka berdua pergi ke arah di mana kerikil yang di lempar Rovert. Rovert tak membuang kesempatan itu, ia mengendap-endap dan eksklusif mengambil bunga Lupinus Perennis. Lalu dengan cepat berlari ke arah kami.

“Cepat lari!”
Kami ketahuan. Dua pohon raksasa itu eksklusif mengejar kami. Kami berlari dengan cepat, tergesa-gesa. Langit tampak mendung dan gelap di atas kepala. Suhu udara begitu sejuk dan dingin, dan saya menggigil keras ketika topan menerpa tubuhku yang tak terlindungi mantel.

Dua pohon raksasa itu terus berlari mengejar kami. Langkah kaki yang begitu besar. Sekilas ku lirik wajah mereka. Begitu menyeramkan. Kami bersembunyi di bawah batang pohon besar yang sudah tumbang dan menunduk dalam-dalam. Mereka mengejar semakin dekat. Tampaknya salah satu melirikku. Rahangku bergetar.

“Sstttt…” Aries menggenggam tanganku, berusaha membuatku tetap tenang.
Sekarang mereka sempurna di samping kami. Aku tidak sanggup bernapas sama sekali. Ku lirik wajah Aries dan Rovert, mereka terlihat damai meskipun gotong royong mereka merasa tegang sepertiku. Namun ketika alhasil dua pohon raksasa itu berjalan melewatiku, tekanan itu hilang. Ku hembuskan napas yang sudah setengah membeku dalam paru-paruku. “Sebaiknya cepat kita pergi sebelum mereka mengejar lagi.” ucap Rovert.

Titik hujan pertama menimpa sempurna di bahuku. Rasanya menusuk dan cuek sekali. Kami berlari semakin cepat, menerobos semak belukar dan ranting-ranting pohon yang menghalangi pandangan. Tapi tak kami hiraukan, alasannya ialah kini di genggaman tanganku ada bunga Lupinus erennis yang kami cari. Kami harus segera hingga ke istana sebelum matahari terbenam, sebelum Leo dan Gemini dieksekusi mati.

Aku bergidik membayangkannya. Untunglah kami belum terlambat. Ku lihat Leo sedang memberontak ketika dipaksa untuk naik ke panggung hukuman. Sedangkan Gemini, matanya infeksi alasannya ialah keseringan menangis. Entah sudah berapa liter air mata yang telah ia kuras.

“Tunggu!” cegah Rovert. Para penghuni istana mengalihkan pandangannya ke arah kami.

“Kami tiba membawa bunga yang diinginkan Ratu. Kaprikornus kami mohon bebaskan teman-teman kami.” pintaku melirik ke arah Ratu. Kemudian Gemini dan Leo. Ada seberkas impian di wajah mereka.

Ratu pohon perlahan berjalan menghampiri kami. Tatapan matanya tajam. Ia tersenyum, “kalian memang anak pemberani”
“Dan kau, Virgo” ia menunjukku “kau memang anak yang baik”
Aku tertegun, mulutku menganga. Dari mana ia tahu namaku? Selama ini saya belum pernah mengucapkan namaku.

“Kau niscaya heran kenapa saya tahu namamu” rupanya Ratu sanggup membaca pikiranku.
“Aku ialah pohon yang selalu kamu sapa tiap pagi dan sore. Mungkin kamu tidak menyadarinya” ucapnya lagi.
Aku tak sanggup bicara. Mulutku membungkam. Aries maju selangkah, membungkuk tanda penghormatan. “Ini bunganya, Ratu”
Ratu pohon mengambilnya, dan memanggil salah satu pelayan. Lalu menyerahkan bunga itu. Setelah itu ia menepuk tangannya sebagai aba-aba bahwa Leo dan Gemini dibebaskan.
“Lepaskan mereka!”
Kami tersenyum puas. Gemini eksklusif memelukku.
“Terima kasih, Ratu” saya menyeka air mata haru yang ke luar dari ekor mataku.
“Kalian harus berjanji tidak akan merusak flora lagi. Meskipun flora bukan manusia, tetapi mereka juga makhluk hidup. Dan kalian sebagai insan harus merawatnya bukan malah merusaknya.” Kami semua mengangguk paham.

“Mulai kini kami berjanji akan menjaga alam” Leo meletakkan tangannya di dada sebagai sumpah.
Ratu tersenyum, “sekarang kalian sanggup kembali pulang. Dan ingat jangan beritahu siapa pun perihal negeri hijau”
Sebelum saya berbalik, saya memeluk Ratu. “Terima kasih”
Ia tersenyum padaku. Setelah itu kami pamit pulang. Tapi kami belum sanggup pulang ke rumah. Karena hari sudah mulai petang. Hujan pun semakin deras. Akan sulit bagi kami untuk mencari jalan pulang. Kami memutuskan untuk menginap di pondok Rovert.

Malam itu bulan memancarkan sinarnya di langit. Bulan purnama. Meskipun mendung, tapi awan tak menghalangi bulan yang tengah bersinar itu. Ada yang berbeda, kali ini sinarnya memancarkan kebahagiaan bagi kami. Tentu saja atas bebasnya kedua sahabat kami dari sanksi mati. Aku tersenyum menatap langit. Aries menghampiriku dan menyodorkan segelas cokelat panas untuk menghangatkan badan. Malam itu kami lalui dengan canda tawa.
Matahari sudah menawarkan sinarnya di ujung timur. Hutan masih diselimuti embun pagi. Udara masih sangat segar. Ingin rasanya tidur lagi. Tapi saya harus bangun, semoga kami semua cepat-cepat pulang.

Rovert mengantarkan kami hingga depan hutan. Jalanan masih sepi.
“Apa kamu yakin tidak ikut bersama kami? Kau sanggup tinggal bersamaku” Aries meyakinkan Rovert semoga ikut bersama kami.
“Tidak. Hutan ini ialah rumahku. Aku senang tinggal di sini” Rovert menolaknya dengan lembut.

“Ya sudahlah” ada nada kecewa dalam bunyi Aries.
“Apakah kami masih sanggup bermain ke negeri hijau?” tanyaku.
Rovert mengangguk, “tentu saja, asal kalian sanggup merahasiakannya.”
“Serahkan saja pada kami. Kami cendekia menjaga rahasia.” kata Gemini.
Kami pun bergegas pulang. Rovert kembali masuk ke dalam hutan. Sedih rasanya harus meninggalkan hutan.

Tetapi saya harus pulang. Mungkin ayah dan ibu sudah sangat khawatir. Ku hentikan langkahku, dan berbalik memandang Hutan Misteri. Tersenyum. Sekarang kami sudah mengetahui misteri apa yang berada di dalam Hutan Misteri.

TAMAT

Cerpen Karya : Irma Erviana
Sumber : Cerpenmu.com

0 Response to "Hutan Penuh Misteri (Part 2) | Dongeng Horror - Dongeng Hantu"