Indonesia Ku - Ketika saya menyampaikan ‘jangan’ saya sungguh tidak ingin kamu melakukannya.
Ketika saya menyampaikan ‘tidak’ maka saya dengan tegas menolaknya. Ketika saya menjadi gadis egois yang menentang semua kesukaanmu berarti saya sangat mencemaskanmu. Semua sikapku demi kebaikanmu dan kita. Ketahuilah, cintaku bukan menyerupai mereka yang hanya ingin hidup bersama dalam kebahagiaan dan kenyamanan. Menetaplah di sisiku kapan saja walaupun hidupmu telah hancur. Jangan merasa bersalah lantaran membawaku dalam kehancuranmu lantaran nyatanya semakin kamu menjauhkanku dari mereka ialah kehancuranku yang sebenarnya.
—
Naya berhenti di depan pintu cokelat pekat di dalamnya terdapat insan yang ingin beliau temui. Apakah masih mampu kali ini Naya menatap wajahnya tanpa menyampaikan kekecewaan? Seberapa besar lengan berkuasa seseorang yang sangat sayang bisa melihatnya dalam kebodohan yang menciptakan hidupnya sia-sia? Naya memutuskan kembali pada sebuah dinding yang menutupi badan serta isaknya.
“Naya..” Naya menghapus jejak air di wajahnya. Semoga laki-laki yang gres saja menegurnya tidak menyadari adanya air mata. Meskipun Naya sangat ingin Arga -nama laki-laki itu- mengerti betapa hancur Naya setiap Arga melaksanakan kebodohan tak berarti. Siang ini tidak terlalu asing bagi mereka. Orangtua Arga dipanggil Komite Pendisiplinan Siswa (KPS) untuk kesekian kalinya. Naya bisa mengetahui perbuatan onar apa oleh kekasihnya sehabis melihat bagaimana keadaan Arga kini. Beberapa luka bekas darah mengucur di pelipis dan di ujung bibirnya yang belum kering total serta lebam kebiruan menghiasi wajah tampannya. Apa beliau tidak punya waktu untuk mengobati lukanya sendiri? Lalu bagaimana bisa beliau mengobati luka di hati Naya?
“Kau sudah selesai? Orangtuamu datang?”
Arga menggeleng. “Tidak. Mereka mengirim pengacara lagi.” Ucap Arga enggan. Naya tahu niscaya akan begitu tanggapan Arga. Naya memaksakan senyumnya yang malah tampak miris. Karena kisah Arga dan kisahnya sendiri. Sangat memilukan Arga yang berasal dari keluarga serba berkecukupan namun tanpa keharmonisan.
Arga menggeleng. “Tidak. Mereka mengirim pengacara lagi.” Ucap Arga enggan. Naya tahu niscaya akan begitu tanggapan Arga. Naya memaksakan senyumnya yang malah tampak miris. Karena kisah Arga dan kisahnya sendiri. Sangat memilukan Arga yang berasal dari keluarga serba berkecukupan namun tanpa keharmonisan.
“Haruskah saya bertanya kesalahan apa yang kamu perbuat hingga komite memanggilmu lagi?” Arga terdiam. Berusaha terlihat hening meski hatinya bergemuruh. Dia yakin kemarahan Naya mulai mencuat. Atmosfer di sekeliling gadis itu berubah memerah. Apa pun klarifikasi dari Arga tidak akan Naya pedulikan. Gadis itu akan beranjak hangat kembali seiring waktu. Tidak mungkin Naya tidak murka dan mustahil Naya tidak membencinya. Namun Arga tidak peduli yang terpenting Naya ada di dekatnya. Bahkan kalau sangat membencinya. “Ini sudah kali kedua komite memperingatkanmu. Sekali lagi, maka saya akan menamparmu menyerupai tiga bulan lalu.” Naya menegaskan bahaya walaupun beliau tahu Arga niscaya tak mengindahkannya. Hanya ditampar? Arga bahkan tak segan melukai dirinya sendiri demi menuangkan emosinya.
Setiap sekolah mempunyai peraturan masing-masing namun kebanyakan sehabis melaksanakan tiga kali kesalahan besar maka drop out ialah pilihan. Sebenarnya bisa saja memakai uang atau kuasa ayahnya namun Arga tidak sudi mendapatkan pinjaman orangtuanya. Naya selalu tiba dikala momen Arga diinterogasi kolam tersangka meski mereka sudah bukan sahabat satu sekolah. Arga gres pindah ke sekolah ini tiga bulan yang lalu. Arga sudah empat kali dipindahkan lantaran kegiatannya bersama Geng Violent semenjak dua tahun lalu. Geng yang membawa perubahan pada hidup Arga, hubungannya dengan Naya, dan sikapnya.
“Maafkan aku. Aku tidak akan melakukannya lagi.” Arga memasang wajah menyesalnya. Naya yakin Arga nrimo meminta maaf tapi tidak yakin akan menepati janjinya.
“Aku tidak percaya. Kau selalu berbohong.”
“Maafkan saya untuk yang itu juga. Tapi bisakah kamu tidak terus memakiku? Suasana hatiku sedang buruk.” Arga mengacak rambut hitamnya. Pasangan yang sudah menjalin kekerabatan lebih dari tiga tahun ini tidak pernah bisa menyampaikan bagaimana perasaan orisinil mereka. Sangat khawatir dan sangat menyesal. Namun yang terpancar hanya keegoisan masing-masing. Arga berjalan mendekat, Naya melangkah mundur. Arga mengerutkan dahinya.
“Aku tidak percaya. Kau selalu berbohong.”
“Maafkan saya untuk yang itu juga. Tapi bisakah kamu tidak terus memakiku? Suasana hatiku sedang buruk.” Arga mengacak rambut hitamnya. Pasangan yang sudah menjalin kekerabatan lebih dari tiga tahun ini tidak pernah bisa menyampaikan bagaimana perasaan orisinil mereka. Sangat khawatir dan sangat menyesal. Namun yang terpancar hanya keegoisan masing-masing. Arga berjalan mendekat, Naya melangkah mundur. Arga mengerutkan dahinya.
“Kau kenapa, Naya?” Arga merasa ada kejanggalan dalam diri Naya hari ini. Dia tidak berlari dan memukulnya sehabis Arga ke luar dari ruang komite. Aneh.
“Aku membencimu.”
“Aku tahu.” Arga melanjutkan langkahnya.
“Ku mohon berhenti mendekatiku.” Arga berhenti mematuhi gadisnya. Tidak biasanya gadis itu enggan berada di dekatnya. Arga menatapnya lekat. Mencari kecacatan apa yang mengganggu otak Naya.
“Aku membencimu.”
“Aku tahu.” Arga melanjutkan langkahnya.
“Ku mohon berhenti mendekatiku.” Arga berhenti mematuhi gadisnya. Tidak biasanya gadis itu enggan berada di dekatnya. Arga menatapnya lekat. Mencari kecacatan apa yang mengganggu otak Naya.
“Kau mau putus denganku?” Seolah menemukan itu dalam pikiran Naya lewat matanya atau hanya menerka-nerka.
Tubuh Naya membeku. Kata putus terdengar memilukan di telinganya. “Apa bisa..” Mata Naya berair.
“Tidak. Aku tidak akan mengabulkannya.” Arga menyerobot pertanyaan Naya kemudian kembali berjalan menuju Naya.
Tubuh Naya membeku. Kata putus terdengar memilukan di telinganya. “Apa bisa..” Mata Naya berair.
“Tidak. Aku tidak akan mengabulkannya.” Arga menyerobot pertanyaan Naya kemudian kembali berjalan menuju Naya.
“Apa bisa sehabis itu saya hidup dengan baik?” Arga menarik pergelangan tangan Naya. Naya menepisnya bernafsu kemudian menjauh beberapa langkah ke belakang. “Aku akan memberimu pilihan.” Arga tak lagi mendekat sehabis berkali-kali ditolak. Naya meneguhkan hatinya. Muncul di memorinya perkataan Amira -ibu Arga- beberapa waktu lalu.
“Ternyata benar yang Arga ceritakan. Naya sangat cantik.” Mata Amira berbinar. Tentu saja ini kali pertama beliau melihat Naya dan bisa berbincang secara langsung. Dia pun tak canggung melontarkan kebanggaan pada kekasih putranya.
“Ternyata benar yang Arga ceritakan. Naya sangat cantik.” Mata Amira berbinar. Tentu saja ini kali pertama beliau melihat Naya dan bisa berbincang secara langsung. Dia pun tak canggung melontarkan kebanggaan pada kekasih putranya.
“Arga pernah menceritakan saya, Tante?” Tanya Naya diatas angin.
“Panggil mama saja menyerupai Arga.” Amira mengelus rambut Naya. “Setiap mengobrol dengan kami, Arga tidak pernah bercerita wacana sekolah atau teman-temannya. Tapi selalu wacana Naya. Naya yang cantik, juara kelas, juga tidak pernah berkata bernafsu menyerupai kami.” Naya tersenyum kecut. Begitu pula Amira yang tampak miris. Putranya sendiri lebih peduli pada gadis lain daripada perempuan yang sudah melahirkannya. Namun beliau menyadari perubahan Arga lantaran kehancuran rumah tangganya. Mereka tidak bercerai. Hengki -Ayah Arga- yang seorang politikus terkenal di provinsinya tidak ingin menghebohkan dunia pers lantaran konflik keluarganya.
“Panggil mama saja menyerupai Arga.” Amira mengelus rambut Naya. “Setiap mengobrol dengan kami, Arga tidak pernah bercerita wacana sekolah atau teman-temannya. Tapi selalu wacana Naya. Naya yang cantik, juara kelas, juga tidak pernah berkata bernafsu menyerupai kami.” Naya tersenyum kecut. Begitu pula Amira yang tampak miris. Putranya sendiri lebih peduli pada gadis lain daripada perempuan yang sudah melahirkannya. Namun beliau menyadari perubahan Arga lantaran kehancuran rumah tangganya. Mereka tidak bercerai. Hengki -Ayah Arga- yang seorang politikus terkenal di provinsinya tidak ingin menghebohkan dunia pers lantaran konflik keluarganya.
“Boleh Mama minta tolong untuk menjaga Arga? Dia hanya mendengarkanmu. Tolong suruh beliau tidak berteman dengan belum dewasa bandel itu. Mereka merusak masa depan Arga. Mama lebih senang beliau selalu di bersahabat Naya.”
“Tinggalkan geng idiotmu itu atau kita berakhir?” Naya meneteskan satu air dari ujung kelopaknya. Buru-buru Naya mengusapnya. Saat mengancam mustahil bisa terlihat lemah. Sulit memang memaksakan kehendak pada Arga apalagi sadar laki-laki di depannya itu teramat menyayanginya.
“Tinggalkan geng idiotmu itu atau kita berakhir?” Naya meneteskan satu air dari ujung kelopaknya. Buru-buru Naya mengusapnya. Saat mengancam mustahil bisa terlihat lemah. Sulit memang memaksakan kehendak pada Arga apalagi sadar laki-laki di depannya itu teramat menyayanginya.
“Geng idiot?”
Naya mengangguk yakin. “Karena hanya orang terbelakang sepertimu yang mau menjadi anggotanya. Melakukan hal-hal tidak berguna. Berkelahi, balapan liar, merok*k, mabuk-mabukkan..” Naya tersendat isakannya. “Haruskah saya menyampaikan semua keburukanmu?” Teriak Naya sambil sesenggukkan. Dia tidak mampu mengungkap kejelekan Arga dari mulutnya.
Naya mengangguk yakin. “Karena hanya orang terbelakang sepertimu yang mau menjadi anggotanya. Melakukan hal-hal tidak berguna. Berkelahi, balapan liar, merok*k, mabuk-mabukkan..” Naya tersendat isakannya. “Haruskah saya menyampaikan semua keburukanmu?” Teriak Naya sambil sesenggukkan. Dia tidak mampu mengungkap kejelekan Arga dari mulutnya.
Arga tertegun. Beginikah kemarahan Naya yang sesungguhnya? Gadis yang menemaninya semenjak sekolah menengah pertama dan gadis pertama yang membuatnya jatuh hati. Biasanya Naya hanya akan membisu dan menangis dalam pelukannya. Namun kini bukan hanya menangis, Naya berteriak dan menghindarinya. “Pasti mamaku yang menyuruhmu bersikap begini. Dengan apa beliau menyogokmu? Aku akan memberimu lebih jadi jangan menurutinya.” Air mata Naya semakin deras. Bagaimana bisa Arga yang pertama kali mereka bertemu sangat manis bisa berkata serendah itu padanya? Arga milikku memang sudah hilang. Batin Naya.
“Kau gila! Kau lupa siapa orangtuaku? Aku tidak butuh hal-hal begitu.” Arga mengangguk paham. Naya memang berasal dari keluarga terpandang sepertinya. Ayah dan Ibu Naya pembisnis sukses hingga mancanegara. Lagi pula Naya bukan gadis yang gampang dipengaruhi apalagi dengan materi. “Apa kamu tidak ingat setiap kita berjalan bersama semua orang selalu menatap kita? Kita menyerupai pangeran dan putri mahkota. Tampan dan cantik, kaya, bintang kelas, saling menyayangi dan bahagia.” Naya dipenuhi emosi ketika mengingatkan kenangan yang senang dan membanggakan. Dia tidak pernah sengaja jatuh cinta dan ingin menciptakan kisah cinta senang antara dua anak konglomerat. Takdir yang membawa mereka bersama.
“Jadi kini kenapa kamu ingin berpisah? Karena saya sudah tidak tampan? Tidak kaya? Atau lantaran keluargaku yang hancur?” Arga mengusap bernafsu wajahnya. Frustasi. Tidak pernah ada di bayangannya gadis yang beliau anggap satu-satunya alasan beliau bertahan hidup akan menyampaikan perpisahan.
“Karena kita tidak bahagia.” Jawaban Naya sontak menyayat hati Arga. Selama ini beliau tidak senang dikala bersamaku? Batin Arga. Arga menghela napas kasar. Dia mencoba mendekati Naya kembali tapi sebaliknya gadis itu selalu mundur semakin menciptakan Arga kesal. “Keluarlah dari geng sialanmu itu dan tetap di sampingku.”
“Karena kita tidak bahagia.” Jawaban Naya sontak menyayat hati Arga. Selama ini beliau tidak senang dikala bersamaku? Batin Arga. Arga menghela napas kasar. Dia mencoba mendekati Naya kembali tapi sebaliknya gadis itu selalu mundur semakin menciptakan Arga kesal. “Keluarlah dari geng sialanmu itu dan tetap di sampingku.”
Arga menghentikan langkahnya. Tatapannya meredup seolah menggambarkan suasana hatinya sekarang. Haruskah beliau menuruti seruan Naya? Tapi Violent ialah kawasan Arga meluapkan amukan lantaran problem keluarganya. Dia tidak kuasa kalau Naya harus menghadapi kemarahannya yang kadang di luar kebijaksanaan sehat. Dia tidak ingin menyakiti Naya meski dikala dibakar kemarahan sekalipun. Arga kembali berlari ke Naya yang bahu-membahu hanya berjarak tiga meter di depannya kemudian mendekapnya.
“Jangan pernah menyampaikan hal bernafsu begitu hanya lantaran kamu sedang marah, Naya!” Naya berontak di detik pertama kemudian beliau tersentuh betapa Arga bahu-membahu tidak pernah ingin melukainya. Apa saya terlalu egois? Batin Naya. Naya melepaskan tautan mereka.
“Kau harus memilih, Arga.” Naya menyampaikan ekspresi memohon yang melumerkan Arga.
“Aku ingin tau bagaimana ibuku mencuci otakmu supaya membangkangku.” Arga menghela napas bernafsu di wajah Naya. Tak melepas tatapannya dari mata yang menatap iba sekaligus murung padanya.
“Kau harus memilih, Arga.” Naya menyampaikan ekspresi memohon yang melumerkan Arga.
“Aku ingin tau bagaimana ibuku mencuci otakmu supaya membangkangku.” Arga menghela napas bernafsu di wajah Naya. Tak melepas tatapannya dari mata yang menatap iba sekaligus murung padanya.
“Jangan menyampaikan hal buruk wacana orangtuamu, mereka sangat sayang dan peduli padamu.” Naya memukul pundak Arga tanpa tenaga. Arga menyunggingkan senyuman remeh. Sayang? Peduli? Kedua kata langka di indera pendengaran Arga semenjak keretakan kekerabatan ayah dan ibunya.
“Kau tidak tahu bagaimana mereka sudah menghancurkanku, membuatku ingin mengakhiri hidup setiap mengingat pertengkaran mereka. Mereka tidak mempedulikanku, Naya.”
“Aku tahu. Seperti kamu yang menghancurkan hidupku dan kebahagiaanku padahal kamu sangat sayang dan peduli padaku.” Arga bungkam. Kenapa bisa Naya menganalogikan begitu? “Kita lanjutkan sehabis kamu memilih. Jika pilihanmu sempurna kamu masih bisa berbicara denganku dan melihat wajahku.”
“Kau tidak tahu bagaimana mereka sudah menghancurkanku, membuatku ingin mengakhiri hidup setiap mengingat pertengkaran mereka. Mereka tidak mempedulikanku, Naya.”
“Aku tahu. Seperti kamu yang menghancurkan hidupku dan kebahagiaanku padahal kamu sangat sayang dan peduli padaku.” Arga bungkam. Kenapa bisa Naya menganalogikan begitu? “Kita lanjutkan sehabis kamu memilih. Jika pilihanmu sempurna kamu masih bisa berbicara denganku dan melihat wajahku.”
Arga melepas tangannya dari pundak Naya. Hatinya meluluh hanya lantaran ketakutan akan kehilangan seorang Naya. Arga yang keras kepala, egois, dan pembangkang kehilangan pendiriannya untuk membenci kedua orangtuanya lantaran gadis yang selalu ingin beliau lindungi ini. Kebencian Arga pada Amira dan Hengki kalah dengan rasa cintanya pada Naya.
“Ini lebih menyerupai pemaksaan. Kau tahu saya akan menentukan apa.” Arga mengeluarkan senyum pada selesai kalimatnya yang melukis senyum juga di bibir Naya. Dia yakin kekhawatiran Naya niscaya beralasan dan seolah terpengaruh Naya niscaya memilihkan masa depan yang terbaik untuknya.
“Ini lebih menyerupai pemaksaan. Kau tahu saya akan menentukan apa.” Arga mengeluarkan senyum pada selesai kalimatnya yang melukis senyum juga di bibir Naya. Dia yakin kekhawatiran Naya niscaya beralasan dan seolah terpengaruh Naya niscaya memilihkan masa depan yang terbaik untuknya.
—
Setiap laranganmu saya sadar kamu tidak ingin saya melaksanakan hal tidak berguna. Setiap penolakanmu hanya demi kebaikan kita. Setiap kamu menjadi menyerupai gadis egois saya tidak pernah menyalahkanmu. Aku menyadari saya lebih mementingkan diriku sendiri di dikala ku pikir saya mengutamakanmu. Tidak sepertimu yang selalu memikirkan wacana kita dan bisa berpikir jernih. Aku memang bodoh, Naya. Tapi untunglah kamu masih menyayangi laki-laki terbelakang ini. Kau berhak mendapatkanku yang menyerupai dulu. Arga milikmu menyerupai di masa lalu. Terima kasih masih bersedia mendampingiku di dikala saya baik, jahat, terbelakang atau menyedihkan. Serta maaf pernah menjauh dikala hidupku hancur dan menciptakan kehancuran lebih besar dalam hidupmu.
Make With Love “”
0 Response to "Sepasang Egois - Cerpen Romantis | Cerpen Cinta"